Konsep Qurban dalam Perspektif Agama Islam dan Hindu (Sebuah Studi Perbandingan)

Konsep Qurban dalam Perspektif Agama Islam dan Hindu (Sebuah Studi Perbandingan)

Sejak berabad-abad yang lalu di kepulauan Indonesia sudah terdapat berbagai agama, Hindu, Budha dan kepercayaan rakyat yang biasanya disebut Animisme, Dinamisme dan lain-lain.

Pada umumnya para ahli melihat adanya kecenderungan sinkretisme, khususnya pada orang jawa, yang mencampurkan berbagai unsur agama yang ada.

Misalnya mencampurkan antara Hinduisme dengan Budhisme atau Civaisme dan Budhisme yang terjadi di kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Timur sebelum masuknya Islam (Tim Interfidei, 2004: 194).

Dengan masuknya Islam ke Indonesia yang sebelumnya telah ada agama Hindu dan Budha, proses pertemuan dan akulturasi budaya tidak dapat dihindari.

Adanya perbedaan keyakinan antara agama yang ada menuntut adanya sikap saling menghargai dan toleransi dalam masyarakat agar tercipta kerukunan dalam berkehidupan.

Praktek semacam itu dapat dijumpai misalnya perjumpaan Islam dan Hindu di Kudus Jawa Tengah yang dibawa oleh Jafar Shodiq pada abad ke-16 (Purwadi, 2003: 120).

Umat Islam Kudus menghargai keberadaan umat Hindu yang telah mendiami Kudus sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari bangunan Masjid Al-Aqsa yang di depannya terdapat bangunan menara yang menyerupai bangunan Pura Hindu.

Islam di Kudus juga menghargai umat Hindu dengan tidak menyembelih binatang sapi sebagai binatang kurban pada masa itu (Media Indonesia, 10 Maret 2011: 9).

Hal ini bukanlah berarti umat Islam Kudus menyucikan sapi seperti umat Hindu, melainkan suatu sikap menghargai keyakinan agama lain (Hindu) dengan tidak menyakiti hati umat Hindu yang ada.

Sikap toleransi semacam itu secara tidak langsung menunjukkan keindahan ajaran agama Islam, yang justu menjadi media dakwah, daya tarik bagi umat Hindu Kudus untuk berbondong-bondong masuk Islam setelah melihat keluhuran dan kemuliaan ajaran Islam. Hal ini bukan juga berarti Islam dapat dicampur adukkan dengan agama Hindu.

Adanya bermacam-macam agama dan iman (kepercayaan) di dunia kita adalah suatu kenyaataan. Berhadapan dengan kenyataan tersebut, setiap orang dan umat beriman disapa untuk mengambil sikap.

Dewasa ini semakin jelas arus pemahaman dan sikap yang menegaskan bahawa agama mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat (Tim Interfidei, 2004: 15).

Dalam sejarah, konflik antar agama timbul, dan yang menjadi salah satu aspek penyebabnya adalah tidak saling mengenalnya agama yang satu dengan yang lain.

Bila antar agama tidak saling mengenal, tidak saling mengerti dan menghargai ajaran agama masing-masing, maka gesekan-gesekan yang tidak diharapakan akan terjadi. Sebagai contoh:

Di India, Islam telah banyak disalah pahami sebagai agama keras kepala dan fanatik. Islam dianggap tidak toleran terhadap agama lain, terutama terhadap umat Hindu dan juga dianggap sebagai ekspansionis yang agresif.

Secara sosiologis dan psikologis, dimana saja dalam situasi konflik kita mengajukan gagasan selalu dicurigai. Pada dataran politik, Islam dan Hindu saling berhadapan satu sama lain dalam suasana konflik, masing-masing mencoba saling menyingkirkan dengan suatu gerakan politik.

Itulah sebabnya elit politik dari kedua komunitas itu selalu mengembangkan pandangan yang penuh prasangka terhadap agama lawannya, dan juga terhadap agama lain (Asghar Ali Engineer, 2004: 236).

Keberagaman agama merupakan fakta dan sunnatullah yang tak dapat ditolak, dan di dalam keberagaman itulah manusia harus hidup bersama dan berhubungan dengan satu sama lain.

Dalam konteks plural semacam itu, klaim-klaim kebenaran (truth claim) hanya relevan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat internal.

Dunia keseberagamaan menghendaki agar orang harus saling menahan diri, berlatih “setuju dalam ketidaksetujuan” (Agree in Disagreement), membiasakan hidup dalam perbedaaan, tidak saling menilai benar atau salah, dan belajar untuk saling menghormati satu sama lain, agar terhindar dari benturan dan konflik yang menimbukan kerugian bagi berbagai pihak (Djam’annuri, 2000: 7-8). Maka sikap inklusif sangat diperlukan dalam berhubungan dengan agama lain.

Dengan kata yang jelas Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. “Tidak ada paksaan dalam agama”, tandas Al-Qur’an (Q.S: Al-Baqarah, 156).

Bahkan lebih dari itu Tuhan pun mempersilahkan siapa saja yang mau entah beriman atau kufur terhadap-Nya (Q.S: Al-Kahfi, 29) karena pada nantinya setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik seberat maupun sekecil atom sekalipun akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.

Dengan adanya keanekaragaman keagamaan tersebut, jelas akan memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan dan tentunya ada juga beberapa kesamaan. Pendapat yang menyatakan bahwa agama-agama tersebut sama adalah kurang tepat, karena fakta yang ditemukan tidaklah seperti itu.

Dalam beberapa hal (furu’) ditemukan beberapa kesamaan dalam ajaran agama. Tetapi dalam tataran teologi yang sangat usul perbedaan antara agama yang satu dengan yang lain tidak perlu disama-samakan. Dalam masalah ushul sikap fundamental keagamaan diperlukan sebagai konsekuensi Iman atas agamanya.

Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, semakin mendorong para ilmuwan dan filosof-filosof untuk mengadakan penelitian berbagai hal yang menyangkut studi agama.

Hasil studi dan kajian itu akhirnya melahirkan sebuah disiplin ilmu yang kita kenal dengan nama Fenomenologi Agama.

C.J. Blekker mendefinisikan sebagai suatu studi pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antar berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa-doa, inisiasi, ritus-ritus, upacara penguburan, upacara kurban dan sebagainya (Mariasusai Dhavamony 1998: 4).

Dari beberapa fenomena agama yang berkaitan dengan ritus-ritus keagamaan, kurban merupakan salah satu ritual keagamaan yang senantiasa dilaksanakan oleh umat Islam dan Hindu.

Qurban sebenarnya sarat dengan suatu simbolis, yang dapat berbentuk “petanda-petanda”, “isyarat-isyarat”, dan “lambang-lambang”. Tetapi yang perlu dipahami adalah bagaimana seluruh umat Islam dan Hindu mampu memahami dan menyadari berbagai makna yang terkandung di dalamnya, bukan malah terjebak kedalam sebuah formalitasnya saja.

Pembahasan mengenai kurban dalam Islam dan Hindu menarik untuk kita kaji, mengingat kedua agama ini sering mengalami perjumpaan, baik di negara asalnya Hindu yaitu India maupun di Indonesia yang sejak awal tahun masehi diyakini telah masuk ke Indonesia.

Meskipun kehidupan keagamaannya baru jelas pada abad 4 M dengan diketemukannya tujuah buah yupa peninggalan kerajaan Kutai, disusul masuknya Islam ke Indonesia yang diperkirakan abad ke 7 M.

Perjumpaan antara agama Hindu dan Islam di Indonesia telah terjadi semenjak masuknya Islam hingga sekarang yang tentunya diwarnai begitu banyak dinamika sejarah.

Qurban mempunyai kedudukan yang penting dalam agama Islam dan Hindu, karena dengannya manusia religius mengadakan persembahan kepada Tuhan atau Dewa lewat suatu pemberian.

Dan hubungan serta komunikasi yang erat antara manusia dengan Tuhan lewat keikutsertaan dan ambil bagian dalam persembahan yang disucikan.

Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa kurban merupakan suatu ritus religius yang penting, dan pada sebagian suku bangsa kurban darah merupakan tindakan religius inti.

Kita ketahui qurban dalam agama Islam adalah dilambangkan dengan penyembelihan binatang ternak. Dalam ajaran Islam hanyalah keikhlasan, ketakwaan dan keimanan manusia saja yang akan sampai kepada Allah SWT, bukan darah atau daging dari hewan yang dikurbankan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah surat Al-Hajj ayat 37:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.

Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Depag RI, 2007: 468).

Dari ayat tersebut, melalui kurban manusia akan dapat menjalin hubungan vertikal dengan Allah SWT sebagai pengabdian dan ibadah kepada-Nya sekaligus sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan.

Selain itu qurban juga memiliki dimensi hubungan horisontal antar sesama manusia sebagai perwujudan nilai-nilai sosial melalui pembagian daging kurban kepada para fakir miskin dan orang yang kurang mampu.

Sementara qurban atau yadnya dalam Agama Hindu dapat diartikan sebagai kurban yang tulus ikhlas atas dasar cinta kasih yang sejati.

Menurut ajaran Agama Hindu, alam semesta dan seluruh isinya termasuk manusia dan makhluk hidup lainnya diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati) atas dasar yadnya, karena itu manusia juga patut melakukan yadnya untuk memelihara dirinya (Masyhur Amin (ED), 1994: 66).

Penjelasan yadnya ini dapat kita jumpai dalam Bhagawadgita III. Sloka 10 sebagai berikut: “Ssahayadnah prajah srstva puro’vaca prajapatih, arena prasavisyadhvam essa vo’stiva istakamadhuk”

Artinya: “Pada zaman dahulu Prajapati (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia dan alam semesta atas dasar kurban (yadnya), selanjutnya bersabda: “Dengan ini engkau akan berkembang dan menjadikannya sebagai kamadhuk (yang memenuhi keinginanmu)”

Berbagai bentuk yadnya dilaksanakan oleh umat Hindu, dalam bentuk upacara persembahan yang dikenal ada 5 jenis yadnya. Yaitu: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya dan Butha Yadnya.

Upacara qurban dalam Hindu, yang berupa persembahan hadiah dengan maksud untuk memperoleh keuntungan-keuntungan dari Tuhan, seperti kemakmuran, kesehatan, panjang umur, ternak, keturunan, dan lain-lain.

Upacara qurban bukan hanya suatu pesembahan, tetapi juga suatu penyucian, suatu perpindahan dari yang profane kepada yang kudus, yang mengubah bentuk qurban yang dipersembahkan maupun orang yang mempersembahkannya.

Melalui qurban itulah komunikasi antara yang kudus dan yang profane dibangun, yang juga merupakan suatu tindakan penghormatan kepada dewa-dewa dengan peribadahan (Ahmad Faizin Karimi, 2009: 61-62).

Menurut kitab Weda bentuk penyembahan yang utama adalah yadnya, yakni upacara pengorbanan kepada dewa-dewa. Para hadirin melingkari seputar api pengorbanan dan sesaji dikumpulkan di dalamnya.

Sesaji itu terdiri dari mentega, susu, minuman yang memabukkan, dan barang-barang lain semacam itu. Binatang utama yang dikorbankan adalah kambing, domba, dan seringkali juga kuda.

Qurban itu terutama dimaksudkan sebagai cara menyenangkan hati para dewa untuk memperoleh keberuntungan dari mereka (Ulfat Aziz Us Samad, 1975: 14).

Penyembelihan hewan kurban dalam Islam sebagai ritual dan peribadatan telah dilakukan selama ribuan tahun.

Ritual qurban harus diambil makna hakikatnya di balik simbolisnya disamping makna sosialnya yaitu dengan kewajiban membagikan daging kurban kepada orang-orang yang membutuhkannya.

Bagaimanapun juga, konsep qurban dalam Agama Islam dan Hindu mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan-perbedaan yang menarik untuk dikaji.

Nah itulah yang dapat kami sampaikan mengenai Konsep Qurban dalam Perspektif Agama Islam dan Hindu (Sebuah Studi Perbandingan).

Jika anda membutuhkan kambing Aqiqah atau Qurban, kami Aqiqah Berkah siap menjadi mitra aqiqah anda dalam pelaksanaan aqiqah.

Informasi dan Pemesanan:

WA : +6281335680602
TELPON/SMS : 085749622504

Kantor Aqiqah BerkahKantor Pusat Nganjuk
Gedung Pusat Aqiqah & Qurban
Jl. Punto Dewo Baron Timur RT01 / RW01
Baron, Nganjuk, Jawa Timur

Paket Aqiqah dan Catering Aqiqah Berkah

Paket Kambing Guling Aqiqah Berkah

Penyaluran Paket Aqiqah Berkah Peduli

Testimoni Aqiqah Berkah Pak Ervan

Hewan Qurban Aqiqah Berkah

Kambing Qurban Aqiqah Berkah

Kambing Qurban

Pembagian Daging Qurban Aqiqah Berkah

Pembagian Daging Qurban Aqiqah Berkah

-_-Aqiqah Berkah Siap membantu Anda dalam Qurban atau Aqiqah Anda-_-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *